Satu lagi tren baru yang dipopulerkan Gen Z di dunia kerja, “Quiet covering”. Ini adalah istilah yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk menyembunyikan sebagian identitas dirinya agar sesuai dengan norma, ekspektasi, atau standar perusahaan dan lingkungan kerjanya.
Identitas yang dimaksud bisa sangat variatif, mulai dari hal yang tampak luar, seperti pakaian, aksen bicara, pilihan bahasa, dan cara berpakaian. Bisa juga identitas yang lebih pribadi, seperti agama, etnis, usia, bahkan kepercayaan atau latar belakang keluarga.
Dalam bahasa sederhana, Gen Z yang melakukan quiet covering berusaha membaur agar tidak dianggap berbeda. Ini supaya mereka dianggap kompeten, profesional, dan agar peluang karir mereka tidak terbatas oleh stereotip.
Mengapa Gen Z Melakukannya?
Beberapa faktor yang menjadi pemicu kuat munculnya tren ini, antara lain:
- Atmosfir Kerja yang Menuntut Keseragaman
Banyak perusahaan memiliki budaya atau standar tersirat. Bila seseorang terlihat keluar dari ‘bingkai’ identitas umum di kantor, mereka mungkin khawatir dianggap tidak cocok atau kurang profesional.
- Menghindari Stereotip dan Diskriminasi
Adanya pengalaman atau takut mengalami stereotip negatif (misalnya seputar gender, agama, atau ras). Sehingga Gen Z cenderung memilih untuk meredam sebagian identitas mereka agar tidak menjadi alasan untuk marginalisasi atau penilaian yang merugikan.
- Kebutuhan Penerimaan Sosial dan Prospek Karir
Banyak karyawan Gen Z merasa bahwa dengan menutupi identitas tertentu akan lebih mudah diterima oleh rekan kerja, atasan, atau institusi. Ini juga berarti mereka lebih mudah memperoleh peluang promosi dan evaluasi positif.
- Ketidakpastian Ekonomi dan Sosial
Dalam situasi ekonomi sulit, persaingan kerja tinggi, atau ketika stabilitas sosial dan politik dipertanyakan, keamanan menjadi prioritas. Dengan covering, Gen Z bisa mengurangi risiko sosial dan pekerjaan yang mereka hadapi.
Dampak dan Implikasi
Quiet covering membawa dampak yang kompleks, termasuk risiko dan konsekuensi psikologis yang pada akhirnya akan mengganggu produktivitas perusahaan, di antaranya:
- Tekanan Mental dan Emosional: Menyembunyikan bagian dari diri sendiri bisa membuat stres, serta kelelahan mental karena harus terus menyangkal diri dan berpura-pura.
- Kreativitas Menurun: Jika seseorang terus-menerus harus meredam identitas, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk mengekspresikan diri secara penuh. Hal ini dapat mengurangi kreativitas dan kepuasan kerja.
- Budaya organisasi yang kurang otentik: Bisnis di mana covering menjadi norma bisa memiliki budaya di mana orang tidak berbicara jujur tentang isu-isu yang penting, seperti perbedaan, keragaman, atau kebutuhan khusus. Hal ini bisa menghambat inovasi dan rasa kebersamaan dalam tim.
Langkah yang Perlu Dilakukan Perusahaan
Fenomena quiet covering ini menunjukkan bahwa meskipun secara formal banyak tempat kerja sudah meningkatkan perhatian terhadap keragaman, masih ada jurang besar antara kebijakan formal dan budaya yang dirasakan di lapangan.
Beberapa rekomendasi langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan perusahaan untuk menyikapi hal ini, antara lain:
- Kesadaran Organisasi
Perusahaan perlu menyadari bahwa quiet covering benar-benar ada. Tim HR dapat melakukan survei dan menanyakan langsung ke karyawan, “Apakah Anda merasa bisa menjadi diri sendiri di perusahaan ini?”. Survei internal, sesi aman (safe space), dan feedback rutin bisa membantu.
- Pelatihan Kepemimpinan dan Manajer
Perusahaan dapat mengadakan pelatihan agar para manajer peka terhadap sikap dan stereotip tersembunyi di antara pekerja. Manajer perlu dilatih untuk menjadi pemimpin yang inklusif, sehingga dapat membuat orang merasa aman untuk tampil apa adanya.
- Kebijakan yang Jelas dan Dukungan Konkret
Misalnya kebijakan non-diskriminatif, fleksibilitas berpakaian, dan pengakuan terhadap variasi budaya atau latar belakang.
- Keterbukaan dan Dialog Antar Generasi
Kadang tindakan covering muncul karena sikap takut dihakimi oleh kolega yang lebih tua atau budaya perusahaan lama. Dialog lintas generasi bisa membantu membangun pemahaman bahwa keragaman identitas bukan ancaman, melainkan kekayaan budaya dan potensi kreatif.
Jadi, quiet covering adalah tren penting yang merefleksikan realitas psikologis dan sosial di mana Gen Z berada saat ini. Gen Z adalah generasi yang sadar akan identitasnya, tetapi beroperasi dalam sistem yang belum sepenuhnya menerima variasi identitas secara terbuka. Demi kesejahteraan individu dan efektivitas perusahaan, generasi muda perlu bekerja di lingkungan yang mengijinkan mereka tampil otentik. Sebuah lingkungan kerja positif yang tidak menghakimi dan dapat menyambut baik keberagaman identitas pekerja.
Selain itu, menciptakan lingkungan kerja yang adil dan setara dapat pula dimulai dengan menggunakan sistem HR modern. Menggunakan HRIS seperti Gaji.id misalnya, akan memberikan layanan yang adil bagi seluruh karyawan, karena seluruh sistem berfungsi secara otomatis. Proses-proses administratif HR seperti penggajian, lembur, absensi, dan bahkan rekrutmen berjalan sistematis tanpa adanya pengaruh pandangan subjektif manusia. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya perbedaan perlakuan terhadap pekerja karena identitas dan latar belakang mereka. Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang aplikasi Gaji.id? Hubungi kami atau jadwalkan demo untuk informasi selengkapnya.




