Hak Pekerja Hamil di Indonesia Serta Implementasinya

Kebanyakan pekerja wanita yang sedang hamil tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak-hak khusus yang dilindungi undang-undang. Sering kita jumpai, pekerja hamil menerima perlakuan tidak adil dalam perusahaan, tanpa kemampuan dan wawasan cukup untuk membela hak-hak mereka. Padahal perlindungan hukum yang ada bertujuan untuk memastikan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi dalam kandungannya selama proses bekerja. Ini juga sekaligus menjamin keberlangsungan hubungan kerja yang adil dan setara dalam perusahaan. Untuk itu, artikel kali ini akan mengupas secara menyeluruh hak-hak pekerja hamil sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia. 

Hak-hak Pekerja Hamil 

Seperti dijabarkan sebelumnya, pekerja wanita yang sedang hamil memiliki sejumlah hak khusus yang dilindungi dan diatur oleh undang-undang, antara lain:

  1. Cuti Melahirkan

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 82 ayat (1), pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saat melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan, berdasarkan perhitungan dokter kandungan atau bidan. Selama masa cuti tersebut, pekerja tetap berhak mendapatkan upah penuh sesuai Pasal 84 UU Ketenagakerjaan. 

Baca Juga: Dampak Penghapusan Outsourcing Bagi Pekerja

Perusahaan yang tidak memberikan hak cuti melahirkan atau tidak membayar upah selama masa cuti tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000 dan paling banyak Rp400.000.000, sesuai dengan Pasal 185 UU Ketenagakerjaan.  

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) memberikan ketentuan baru mengenai cuti melahirkan. Di dalam UU tersebut, peraturan mengenai cuti melahirkan ditambahkan dan diperjelas. UU KIA menyatakan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat 3 bulan dan dapat diperpanjang 3 bulan jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Kondisi khusus tersebut meliputi: 

  • Ibu mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan atau keguguran. 
  • Anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi.

Baca Juga: Aturan PHK Karyawan Hamil, Kapan Diperbolehkan?

UU KIA juga menetapkan bahwa ibu yang melaksanakan hak cuti melahirkan berhak mendapatkan upah sebagai berikut:

  1. Upah secara penuh untuk 3 bulan pertama;
  2. Upah secara penuh untuk bulan keempat; dan
  3. 75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.
  1. Cuti Keguguran 

Pekerja perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Selama masa istirahat tersebut, pekerja tetap berhak mendapatkan upah penuh. 

Pengusaha yang tidak memberikan hak istirahat atau tidak membayar upah selama masa istirahat tersebut dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

  1. Perlindungan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Undang-Undang Ketenagakerjaan Pasal 153 ayat (1) huruf e menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja perempuan dengan alasan menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.  Jika PHK dilakukan dengan alasan tersebut, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.

Baca Juga: Hak Karyawan Kontrak yang di PHK

  1. Perlindungan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)

Pengusaha wajib memberikan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja perempuan yang sedang hamil. Hal ini termasuk: 

  1. Tidak mempekerjakan pekerja hamil pada waktu malam hari antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 jika menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya.  
  2. Memberikan pekerjaan yang tidak membahayakan keselamatan dan kesehatan ibu hamil dan janinnya. 
  3. Memberikan waktu istirahat yang cukup bagi ibu hamil. 
  4. Memberikan kesempatan kepada ibu hamil untuk memeriksakan kesehatannya secara berkala. 

Pengusaha yang tidak memberikan perlindungan K3 bagi ibu hamil dapat dikenakan sanksi pidana berupa kurungan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

Baca Juga: Bolehkan Menahan Ijazah Asli Karyawan?

  1. Hak Menyusui di Tempat Kerja

Pasal 83 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pekerja perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.  Perusahaan juga diwajibkan untuk menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui atau memerah ASI, sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif. 

Langkah Hukum Jika Hak Pekerja Hamil Tidak Dipenuhi

Melansir dari HukumOnline.com, jika pekerja perempuan merasa hak-haknya tidak dipenuhi oleh pengusaha, langkah-langkah yang dapat diambil meliputi: 

  1. Melakukan perundingan bipartit antara pekerja atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Perundingan dilakukan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
  2. Apabila perundingan bipartit gagal, salah satu pihak atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan yang belum selesai ke instansi ketenagakerjaan setempat. Pihak yang melapor perlu melampirkan bukti bahwa perundingan bipartit sudah pernah dilaksanakan.
  3. Penyelesaian di instansi ketenagakerjaan disebut perundingan tripartit dan menggunakan metode mediasi dengan mediator dari instansi yang bersangkutan.
  4. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.
  5. Dalam hal tidak juga tercapai kesepakatan, mediator akan menerbitkan anjuran tertulis. Namun apabila pekerja atau pengusaha menolak anjuran mediator, selanjutnya dapat diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Tantangan dalam Penegakan Hak Pekerja Hamil

Meskipun Indonesia memiliki regulasi yang cukup kuat untuk melindungi pekerja hamil, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, antara lain:

  1. Kurangnya Kesadaran dan Pemahaman Hukum

Banyak pengusaha, terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), belum memahami secara menyeluruh ketentuan hukum terkait pekerja hamil. Di lain pihak, banyak pekerja perempuan yang berpendidikan rendah tidak mengetahui hak-haknya selama kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Akibatnya, mereka cenderung menerima perlakuan yang diskriminatif tanpa melakukan upaya hukum.

  1. Minimnya Pengawasan dari Pemerintah

Di kota-kota kecil, Dinas Ketenagakerjaan tingkat daerah seringkali kekurangan sumber daya manusia dan anggaran untuk melakukan inspeksi rutin terhadap perusahaan. Banyak pelanggaran hak tidak terdeteksi dan tidak ditindak secara memadai karena keterbatasan pengawasan aktif.

  1. Diskriminasi Terselubung dan Budaya Patriarkis

Pekerja perempuan yang diketahui hamil kadang tidak diperpanjang kontraknya, atau diberi beban kerja yang berat agar mengundurkan diri. Praktik ini menimbulkan tekanan psikologis, membuat perempuan enggan mengungkapkan kondisi kehamilan atau mengklaim haknya.

  1. Ketimpangan Perlindungan Antara Pekerja Formal dan Informal

Sekitar 60% lebih tenaga kerja Indonesia berada di sektor informal, yang mencakup pekerja rumah tangga, buruh tani, dan lain-lain. Mereka tidak tercakup dalam jaminan sosial ketenagakerjaan, cuti hamil, maupun perlindungan PHK yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

  1. Tidak Tersedianya Fasilitas Pendukung

Meskipun pemerintah mewajibkan perusahaan menyediakan ruang laktasi, banyak perusahaan, terutama yang berskala kecil hingga menengah, tidak memiliki fasilitas tersebut. Bahkan di perusahaan besar, ruang laktasi kadang tidak memadai.

  1. Perlindungan Selama Kehamilan Kurang Optimal

Di industri garmen, manufaktur, atau perkebunan, masih ditemukan kasus pekerja hamil yang tetap diberikan pekerjaan fisik berat atau terpapar zat kimia. Banyak pekerja hamil juga tetap dipaksa bekerja pada malam hari karena perusahaan tidak menyediakan solusi alternatif.

  1. Hambatan dalam Akses Pengaduan dan Penyelesaian Perselisihan

Pekerja sering takut melapor ke Disnaker karena khawatir akan diputuskan kontrak kerjanya atau dikucilkan di tempat kerja. Prosedur pengaduan melalui mekanisme bipartit, mediasi, maupun arbitrase juga membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar. Tak semua pekerja dapat menempuh jalur tersebut. 

Dengan memahami hak-hak pekerja hamil di atas, diharapkan tercipta lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan ibu dan anak. Ini dengan sendirinya juga akan berdampak pada peningkatan produktivitas dan loyalitas pekerja terhadap perusahaan. 

Untuk mendukung pekerja wanita yang sedang hamil, perusahaan dapat memanfaatkan sistem HRIS seperti Gaji.id. Sistem HRIS berbasis AI ini mampu mengotomatisasi berbagai proses administratif HR yang kompleks. Sehingga pekerja dapat mengurus keperluan administrasi HR mereka di mana pun, dan kapan pun, bahkan secara real-time. Ini akan sangat membantu para pekerja hamil yang terkadang harus bekerja dari rumah. Ingin tahu lebih lanjut tentang aplikasi Gaji.id? Hubungi kami atau jadwalkan demo untuk informasi selengkapnya. 

Share this Article:

Scroll to Top